Kurva Hubbert produksi minyak Indonesia tahun 1950-2018 dan proyeksi hingga 2030 (Setiawan, dkk, 2017).
Manusia senantiasa terobsesi dengan kisah-kisah kebangkitan. Obsesi ini tertanam kuat, mulai dari cerita rakyat tradisional hingga film Hollywood terbaru. Narasi-narasi itu menceritakan bagaimana tokoh protagonis bangkit dari keterpurukan dan meraih kemenangan atau kebahagiaan di akhir cerita.
Hasrat ini juga tertanam kuat dalam masyarakat perminyakan di Indonesia. Mereka mengharapkan kebangkitan kembali industri emas hitam di tanah air.
Industri perminyakan di Indonesia mencapai era keemasan dari tahun 1970 hingga tahun 2000. Produksi minyak ketika itu berada pada rentang 1,3-1,7 juta barel per hari. Sektor perminyakan menyerap banyak lapangan kerja dan memberikan tingkat kesejahteraan yang sangat tinggi.
Pasca tahun 2000 produksi minyak di Indonesia perlahan-lahan terus menurun. Pada tahun 2018, produksi minyak tercatat kurang dari 800 ribu barel per hari. Ribuan tenaga kerja telah kehilangan pekerjaannya. Tingkat kesejahteraan pegawai harus disesuaikan dengan kondisi penurunan produksi tersebut.
Apakah industri perminyakan di tanah air akan bangkit kembali? Ada sejumlah fakta yang menarik dielaborasi guna menjawab pertanyaan tersebut.
Pola produksi sumber daya alam tidak terbarukan, termasuk minyak bumi, biasanya digambarkan dengan menggunakan kurva Hubbert. Model ini mengestimasi tingkat produksi sumber daya secara dinamik, yang digambarkan dengan menggunakan distribusi logistik simetris. Ide ini dipaparkan pertama kali oleh geolog M. King Hubbert di American Petroleum Institute tahun 1965.
Saat ini telah berkembang sejumlah pendekatan kontemporer dari model tersebut. Penelitian Setiawan, dkk (2017) dari Ametis Institute mengevaluasi beberapa pendekatan kontemporer dari model Hubbert. Beberapa pendekatan yang dievaluasi antara lain Logistik Simetris, Gaussian Simetris, Gaussian Asimetris, Model Gompertz, Logistik Asimetris, hingga Generalisasi Logistik Asimetris. Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan terbaik pada data produksi minyak di Indonesia 1950-2018 adalah dengan menggunakan model Logistik Asimetris.
Model ini memiliki kemampuan dalam memproyeksikan produksi minyak nasional ke depan. Hasil proyeksi yang dihasilkan sangat dekat dengan model penurunan eksponensial, yang lazim digunakan di teknik perminyakan. Studi ini mengestimasi bahwa produksi minyak nasional akan terus menurun, hingga di bawah 600 ribu barel per hari pasca tahun 2025. Pasca tahun 2035 produksi minyak nasional bahkan diperkirakan akan di bawah 400 ribu barel per hari.
Peta blok migas di Indonesia pada tahun 2018 (ESDM One Map Indonesia, 2018).
Hasil tersebut tampaknya berkesesuaian dengan data eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Mayoritas blok minyak yang menjanjikan secara geologis sudah dieksplorasi atau dieksploitasi. Memang masih ada kemungkinan ditemukannya cadangan baru yang signifikan, namun peluangnya relatif kecil.
Kita mesti secara objektif dan saintifik merencanakan serta memutuskan sejauh mana dapat mendorong kegiatan eksplorasi minyak. Perlu keputusan yang tepat dan proporsional antara eksplorasi minyak dan pengembangan sumber-sumber energi lainnya.
Dari fakta-fakta di atas, kita sebaiknya mulai semakin serius mengembangkan sumber-sumber energi non-konvensional. Indonesia memiliki potensi yang cukup besar di minyak serpih (shale oil), gas non-konvensional (unconventional gas), panas bumi, nuklir, surya, air, angin, gelombang laut, biomassa, hingga pasang surut. Kita harus mulai mengembangkan sumber-sumber energi alternatif di tanah air secara sistematis, terstruktur, dan masif.
Pahlawan baru hadir di setiap lapisan sejarah. Ketika matahari di sektor perminyakan mulai terbenam, maka sang fajar datang menyambut kehadiran sumber-sumber energi non-konvensional. Mereka adalah pahlawan masa depan kita.
Jonathan Kartadjoemena
Senior Researcher Bidang Energi
Ametis Institute